Mengapa Gajah Tidak Mengidap Kanker Sementara Ferret Mengidapnya?
Penelitian terbaru meneliti prevalensi kanker di berbagai spesies vertebrata dan menemukan bahwa hewan besar seperti gajah dan paus memiliki risiko lebih rendah terhadap kanker dibandingkan dengan asumsi awal. Temukan di dalamnya informasi tentang mekanisme genetik dan faktor evolusi yang dapat membuka kemungkinan pencegahan kanker dalam penelitian lebih lanjut.
Pada tahun 1977, Sir Richard Peto memperkirakan bahwa hewan besar dengan usia panjang seharusnya lebih rentan terhadap kanker dibandingkan hewan kecil. Namun, ia menemukan bahwa banyak hewan besar seperti gajah dan paus justru mengalami kanker lebih jarang. Temuan ini dikenal sebagai “paradoks Peto” yang mendorong penelitian lebih lanjut tentang kanker pada vertebrata, untuk memahami mekanisme pencegahan kanker yang mungkin diterapkan pada manusia.
Penelitian terbaru menemukan bahwa gajah memiliki 19 salinan tambahan dari gen penghambat tumor TP53 yang membantu mereka dalam menghindari kanker. Namun, faktor genetik bukan satu-satunya penyebab, seperti yang dijelaskan oleh Zachary Compton, peneliti dari University of Arizona. “Evolusi memiliki banyak cara acak dalam mengatasi masalah yang sama,” katanya.
Compton dan timnya menganalisis insiden kanker pada hampir 300 spesies vertebrata. Mereka menemukan berbagai tingkat prevalensi kanker dan mengupayakan penjelasan terhadap paradoks Peto, sekaligus mendalami hubungan antara faktor evolusi dengan prevalensi neoplasia dan keganasan.
Kanker dipandang sebagai sesuatu yang dihindari dalam proses seleksi alam karena pemborosan energi pada sel yang tidak berfungsi. Oleh karena itu, penelitian ini mengumpulkan 16.049 catatan nekropsi dari 292 spesies hewan untuk memahami prevalensi neoplasia.
Hasil menunjukkan bahwa prevalensi neoplasia rata-rata adalah 4,89% dan keganasan 3,2%. Penelitian memperlihatkan bahwa ukuran tubuh yang lebih besardapat meningkatkan risiko neoplasia, sementara periode gestasi yang lebih lama dapat mengurangi risiko neoplasia dan keganasan.
Penelitian ini juga menguji apakah hewan dalam penangkaran lebih rentan terhadap kanker karena kehidupan yang lebih lama. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar spesies mengembangkan tumor dalam rentang hidup alami mereka, sehingga menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara umur di penangkaran dengan kanker.
Hasil yang menarik dari penelitian ini adalah adanya “daftar pemimpin” spesies dengan tingkat neoplasia yang sangat tinggi atau rendah. Compton berharap spesies tahan kanker bisa memberikan petunjuk tentang mekanisme pencegahan kanker yang bisa diterapkan pada manusia.
Prevalensi neoplasia dan keganasan bervariasi di antara ordo taksonomi, dengan mamalia tinggi di 12% dan 7%, sementara amfibi di 1,2% dan 0%. Anehnya, beberapa mamalia seperti ibex Nubia dan beberapa spesies kelelawar menunjukkan kadar neoplasia yang sangat rendah. Sedangkan, ferret dan opossum memiliki risiko neoplasia yang tinggi.
Di antara orang dewasa Amerika, sekitar 39,3% diperkirakan akan didiagnosis kanker selama hidup mereka, namun Compton mengingatkan pentingnya mengestimasi prevalensi neoplasia jinak di manusia. Penelitian ini dapat membantu model pencegahan kanker yang lebih efektif pada manusia di masa depan.
Artikel ini membahas paradoks Peto, mengenai prevalensi kanker di antara berbagai spesies vertebrata. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa spesies besar, seperti gajah, memiliki mekanisme genetik dan faktor evolusi yang berkontribusi pada rendahnya insiden kanker, meskipun asumsi awal mengatakan sebaliknya. Penelitian ini juga mencakup analisis terhadap data nekropsi berbagai spesies untuk mencari tahu pola yang mengarah pada penghindaran kanker.
Penelitian menunjukkan bahwa tidak semua hewan besar lebih rentan terhadap kanker, dengan gajah yang memiliki mekanisme genetik khusus dalam merespons kanker. Selain faktor genetika, interaksi antara ukuran tubuh, periode gestasi, dan faktor evolusi turut berperan penting. Temuan ini diharapkan dapat memberikan wawasan untuk pencegahan kanker pada manusia.
Sumber Asli: www.aacr.org
Post Comment