Dari Resistensi ke Respons: Peran Mikrobiome dalam Mengoptimalkan Terapi Kanker
Resistensi terhadap pengobatan kanker mungkin disebabkan oleh faktor genetik dan juga terpengaruh oleh microbiome usus. Terapi yang terintegrasi dengan microbiome menunjukkan potensi untuk meningkatkan respons pengobatan. Intervensi seperti FMT dan perubahan pola makan berperan dalam menyesuaikan microbiome untuk mendukung pengobatan kanker. Meski banyak tantangan, penelitian ini memberikan harapan bagi pasien kanker.
Penanganan resistensi terhadap terapi kanker masih jadi tantangan besar bagi pasien di seluruh jenis kanker. Penelitian menunjukkan bahwa selain mutasi genetik, microbiome usus juga dapat memengaruhi efektivitas pengobatan. Kebangkitan penelitian mengenai hubungan microbiome dengan terapi kanker menghadirkan banyak harapan baru. Di pertemuan tahunan ASCO 2025, para ahli membahas hubungan rumit ini dan pentingnya strategi berfokus pada microbiome untuk meningkatkan hasil terapi kanker.
Kesehatan usus dan sistem imun saling berhubungan erat. Penelitian terbaru menemukan bahwa beberapa jenis bakteri usus dapat memperkuat atau melemahkan respons imun terhadap pengobatan kanker, khususnya imunoterapi. Bakteri ini menghasilkan metabolit yang memengaruhi metabolisme obat dan fungsi sel imun, dan memiliki potensi untuk meningkatkan atau mengurangi efektivitas terapi.
Komposisi bakteri di dalam usus tidak hanya berdampak pada respons imunoterapi, tetapi juga berfungsi sebagai alat prediktif untuk hasil terapi. Beberapa spesies bakteri terbukti terkait dengan respons yang baik, sementara yang lain justru menurunkan tingkat kelangsungan hidup. Oleh karena itu, memahami spesies spesifik microbiota ini menjadi langkah penting dalam pengembangan terapi kanker yang lebih dipersonalisasi.
Antibiotik memang penting untuk mengobati infeksi, namun penggunaannya justru bisa merugikan microbiome usus. Penggunaan antibiotik dapat mengurangi keragaman microbiome dan mengganggu efektivitas sistem imun, yang sangat krusial untuk keberhasilan imunoterapi. Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik di kalangan pasien kanker berkorelasi dengan tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah dan respons yang berkurang terhadap imunoterapi.
Penggunaan antibiotik dapat melemahkan fungsi-fungsi penting sistem imun yang diperlukan untuk keberhasilan imunoterapi, seperti imunosurveilans. Imunosurveilans adalah fungsi alami sistem imun yang berupaya menghilangkan tumor yang baru terbentuk sebelum berkembang menjadi kanker. Ketidakmampuan ini menyebabkan pertumbuhan sel kanker, sekaligus menambah tingkat kelelahan T-cell, yang mengakibatkan respons terapi yang lebih rendah.
Microbiome usus adalah ekosistem rumit yang terdiri dari banyak spesies mikrobial yang berfungsi besar dalam menstimulasi respons imun. Penggunaan antibiotik dapat merusak keseimbangan ini dan menghilangkan bakteri penting yang berperan dalam menciptakan respons imun yang baik. Oleh sebab itu, tetap penting untuk memperhatikan penggunaan antibiotik yang bijak, misalnya dengan menghindari resep yang tidak perlu dan menggunakan dosis terpendek yang efektif.
Lawrence Zitvogel, MD, PhD dari Institut Gustave Roussy mengingatkan,”Pharmacovigilance dalam penggunaan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati, seperti mempersempit spektrum antibiotik, meminimalkan penggunaan obat berlebihan, serta mengurangi durasi terapi.”
Kondisi dysbiosis atau ketidakseimbangan microbiome usus juga menjadi faktor penting. Kondisi ini sering diasosiasikan dengan respons rendah terhadap imunoterapi dan dapat memberikan risiko yang lebih pada resistensi terhadap pengobatan. Sekitar 20% orang sehat memiliki derajat dysbiosis, sedangkan pada pasien kanker, angka ini bisa mencapai 50% sampai 60%.
Arielle Elkrief, MD dari Universitas Montreal menjelaskan, “Kami belajar bahwa dysbiosis adalah biomarker penting untuk respons dan resistensi terhadap imunoterapi.” Keberadaan intervensi microbiome yang berfokus pada mengubah keberadaan microbiome yang tidak menguntungkan dapat jadi solusi untuk mendapatkan respons imun yang lebih kuat.
Untuk menangani dysbiosis, langkah-langkah praktis seperti menghentikan obat yang tidak sesuai dan menyesuaikan pola makan dengan peningkatan asupan serat direkomendasikan untuk dysbiosis ringan. Pada dysbiosis yang lebih parah, metode seperti prebiotik, produk bakteri hidup, atau bahkan transplantasi microbiota feses (FMT) bisa dipertimbangkan. FMT menjadi pilihan favorit untuk kasus yang lebih berat.
“Benar-benar mungkin untuk menangani dysbiosis ringan dengan menghentikan obat-obatan yang tidak tepat dan memperbaiki pola makan,” tutup Zitvogel. “Untuk kasus dengan dysbiosis yang sedang, menargetkan wilayah peradangan sangat membantu, disertai penggunaan prebiotik dan mungkin bioterapi hidup. Untuk disbiosis berat, intervensi seperti FMT mungkin sangat berharga.”
Berbagai metode seperti FMT, intervensi diet, penggunaan prebiotik, dan probiotik memainkan peran penting dalam mencegah dysbiosis dan resistensi pengobatan. Namun, keberhasilan ini juga sangat bergantung pada komposisi microbiome usus pasien.
FMT bertujuan untuk menggantikan microbiome yang disbiosis dengan yang sehat dan harus diberikan dalam bentuk kapsul oral yang tidak berbau. Penelitian menunjukkan bahwa FMT menunjukkan hasil menjanjikan dalam memberikan dukungan terhadap imunoterapi kanker.
Dari beberapa penelitian, FMT terbukti efektif, khususnya dalam uji coba TACITO yang menunjukkan bahwa 66,7% pasien kanker ginjal mencapai kelangsungan hidup bebas progresi setelah setahun pasca FMT. Namun, ada hambatan seperti regulasi dan biaya yang bisa memengaruhi pelaksanaan FMT.
Intervensi diet yang seimbang juga memberikan dampak positif yang signifikan bagi kejayaan terapi kanker dengan menunjukkan sumbangan baik untuk integritas microbiome. Pola makan kaya serat dan pola makan Mediterania bisa membantu meningkatkan respons terhadap pengobatan.
Terakhir, pendekatan yang dipersonalisasi semakin diakui penting untuk kemajuan dalam perhatian kanker. Dengan mengintegrasikan wawasan tentang microbiome, para dokter dapat menyesuaikan perawatan dan meningkatkan kemungkinan respons pengobatan yang lebih baik. Penelitian lebih lanjut di bidang ini dibutuhkan untuk memahami interaksi kompleks antara microbiome dan terapi kanker.
Dari semua yang dibahas, jelas bahwa microbiome usus memainkan peran penting dalam efektivitas terapi kanker. Resistensi terhadap pengobatan mendapatkan banyak perhatian karena berhubungan langsung dengan kondisi kesehatan pasien. Penanganan dysbiosis menjadi kunci, apakah melalui perubahan pola makan, penggunaan probiotik, atau intervensi FMT. Penelitian lebih lanjut diharap dapat memperjelas hubungan ini dan memberikan manfaat lebih bagi pasien.
Sumber Asli: www.pharmacytimes.com
Post Comment